Revolusi audio digital pada awal 1980-an telah mengubah drastis industri
musik. Saat ini kebanyakan bunyi-bunyi rekaman yang kita dengar telah
berubah menjadi bit-bit elektronik. Mereka berseliweran di dunia maya
dan siap diunduh – baik legal maupun ilegal – dengan cepat.
Berikut
ini adalah beberapa fenomena yang tercatat dalam sejarah musik digital.
Apakah mereka menghancurkan industri musik? Atau justru menyelamatkan?
Andalah yang menentukan.
MP3
Karlheinz
Brandenburg dkk. telah mengubah industri musik dengan sistem kompresi
audio yang mereka kerjakan, MPEG Audio Layer 3 (atau lebih akrab disebut
MP3). File musik menjadi amat berukuran langsing dan akrab dengan
banyak pemutar musik. Namun karena ini pulalah, karya musik jadi lebih
rawan dibajak dan dipertukarkan tanpa izin.
Napster
Ketika
pertama kali dirilis tahun 1999, aplikasi Napster belum banyak dilirik
orang. Namun setelah digugat industri musik karena dianggap melanggar
hak cipta, barulah Napster populer. Melanjutkan kehebatan MP3, Napster
memungkinkan orang bertukar berkas secara gratis melalui Internet.
iTunes
Pemutar
musik karya Apple yang diberi nama iTunes berhasil tampil sebagai
platform mendapatkan musik digital secara legal (dan membayar). Di satu
sisi, pembajakan di Internet bisa ditekan. Tapi di sisi lain, industri
musik merana karena konsumen pelan-pelan melupakan album fisik.
International
Federation of the Phonographic Industry (IFPI), federasi yang menaungi
industri rekaman dunia, melaporkan penjualan rekaman musik terjun bebas
dari sekitar $ 26 miliar (2000) menjadi hanya $16 miliar (2010).
RBT
Sering
juga disebut “caller tunes”, fasilitas ini juga cukup populer di banyak
negara. Dengan fasilitas ini para pelanggan dapat mendengar karya musik
atau suara tertentu untuk menggantikan nada sambung biasa.
Bagi pengguna layanan seluler di Indonesia, RBT sudah tak asing lagi. Saking ngetopnya, RBT di Indonesia bisa memberikan pemasukan hingga 90 persen kepada industri musik.
Tak heran ketika RBT hendak dihapus menyusul kasus sedot pulsa, banyak
artis yang protes sebab pendapatan mereka sangat tergantung pada
penjualan RBT. Terlihat jelas, album fisik mulai dikesampingkan oleh
artis dan industri musik kita.
Cloud di Google Music dan Amazon
Bayangkan
file musik yang Anda punya bisa diakses kapan dan di mana saja via
Internet. Inilah basis layanan “cloud” yang diberikan Google Music dan
Amazon. Kita menyimpan koleksi musik kita dengan rapi di cloud, dan
mendengarkannya lewat aplikasi yang tertanam di komputer atau gadget
kita.
Cloud juga melayani pembelian legal untuk karya-karya musik
yang jumlahnya sangat banyak. Pasar musik online global sekitar 500
juta orang memang menjadi sasaran utama layanan ini.
Spotify
Layanan
ini tak jauh berbeda dengan cloud, hanya saja ia lebih menyatu dengan
media sosial. Keunggulan Spotify yang utama (mungkin) adalah
perkongsiannya dengan Facebook.
Dengan integrasi media sosial
ini, Spotify berharap bisa menjadi platform berbagi informasi tentang
musik. Menurut kabar, Spotify juga menekankan pada model “playlist” yang
bisa diakses di mana pun via Internet—dan dengan model langganan yang
lebih fleksibel.
Beli album musik atau single baru pun tak
masalah, karena sudah banyak label yang bergabung dalam platform ini.
Kabarnya kita bisa berlangganan lagu atau playlist per bulan. Sayangnya,
belum tersedia di Indonesia.
Senin, 16 Januari 2012
Penghancur atau Penyelamat Industri Musik?
Diposting oleh Firrizqi Pratama pukul 14.10.00
Label: Info Menarik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar