Pyzam Blogger Templates , Twitter Backgrounds And Vish Cyber Blog

Minggu, 27 Januari 2013

Lego Mindstorms EV3: Platform Robot Dengan Dukungan Android & iOS

Mainan batu bata dari plastik yang kondang di seluruh dunia, LEGO, dianggap cukup positif karena mampu merangsang kreativitas anak usia dini. Tetapi ternyata LEGO juga punya produk yang layak dimainkan orang dewasa. Di ajang CES 2013, LEGO memperkenalkan Mindstorms EV3, robot canggih dari bata LEGO yang dapat diprogram — tanpa perlu bantuan komputer.

Lego Mindstorms EV3 SPIK3R

Robot versi terbaru ini mengandalkan prosesor ARM9, memori flash 16MB dan RAM 64GB serta slot SD card. Ini peningkatan yang cukup baik dibandingkan versi terdahulu yang mengusung prosesor ARM7 dan tanpa opsi untuk menambah memori eksternal. Sedangkan jumlah “bata” dengan sensor yang dapat dihubungkan kini menjadi empat “bata”.

LEGO Mindstorms EV3 TRACK3R

Unit EV3 yang memuat prosesor ini juga telah dilengkapi sensor sentuh, motor dan sensor infra merah. Dengan bantuan sensor tersebut, robot LEGO akan dapat memberi respons sesuai perintah. Misalnya, robot Reptar akan melakukan gerakan menggigit jika EV3 mendeteksi tangan Anda berada di depannya. Saat ini, ada 17 desain robot yang bisa Anda bangun. Selanjutnya jumlah tersebut akan meningkat.

LEGO Mindstorms EV3 R3PTAR

Di sisi software, LEGO bekerjasama dengan Autodesk untuk menghadirkan aplikasi instruksi 3D sehingga pengguna dapat memutar dan memperbesar instruksi pembangunan. Selain itu, Anda bisa mengendalikan EV3 dari iPhone, iPad atau perangkat Android, menggunakan koneksi Bluetooth yang sudah tertanam.

LEGO Mindstorms EV3 GRIPP3R

Mindstorms EV3 ditujukan bagi anak-anak usia 10 tahun ke atas, walaupun kecanggihannya juga akan menarik para orang dewasa untuk membangun robotnya sendiri. Rencananya, LEGO baru akan memasarkan Mindstorms EV3 di pertengahan tahun 2013 dengan harga $349. Tertarik?

Speaker Wireless Cloud Pertama Di Dunia

OD-11 mungkin terasa asing di telinga Anda. Namun nama speaker itu cukup terkenal di tahun ’70-an di Eropa. OD-11 hadir pertama kali tahun 1974 dan dirancang oleh seseorang asal Swedia bernama Stig Carlsson. Kala itu, kebanyakan speaker dibuat untuk dinikmati di ruang khusus dengan peredam suara untuk mendapatkan hasil suara yang terbaik.

OD 11

Pada masanya, OD-11 khusus dirancang untuk digunakan di ruang lebih terbuka seperti ruang keluarga atau ruangan berukuran besar. Konsep ini lebih praktis mengingat pengguna tidak perlu lagi menggunakan lapisan peredam untuk mengisolasi suara di dalam ruangan tapi tetap mendapatkan suara audio yang maksimal. Ketika pertama kali dirilis, OD-11 berhasil menyandang predikat “the most affordable HiFi speaker” dan dalam waktu singkat menjadi ikon speaker audio di Swedia pada saat itu.

Di CES 2013, Teenage Engineering dan Stig Carlsson Foundation mencoba “menghidupkan” kembali OD-11 dalam kemasan teknologi yang lebih modern. Hasilnya memang cukup mengagumkan. Dari segi kemasan, speaker ini berbentuk seperti kubus 10 liter yang bersih dan bebas dari berbagai tombol pengaturan yang ditemukan di speaker kebanyakan. Minimalis dan elegan menjadi tema desain cantiknya.

Di dalamnya tertanam sebuah amplifier berkekuatan 100W, subwoofer, prosesor suara, dan neodymium cone tweeter yang mampu menghasilkan suara pada rentang frekuensi 28-24.000 Hz. Speaker ini juga dilengkapi dengan modul Wi-Fi yang mendukung penuh fitur cloud yang memungkinkan Anda untuk memutar seluruh koleksi lagu yang tersimpan di Cloud dengan suara yang sempurna dan minim distorsi.

Dilihat dari desainnya yang tanpa tombol, mungkin Anda bertanya-tanya bagaimana cara mengoperasikan speaker ini. Untuk mempermudah navigasi sambil tetap mempertahankan desainnya yang minimalis, Teenage Engineering merancang sebuah remote control berteknologi Bluetooth yang diberi nama Ortho Remote.

Ortho remote yang berbentuk bundar ini hanya membutuhkan sebuah baterai kancing yang mampu bertahan hingga satu tahun. Bagian belakangnya juga dilengkapi dengan magnet agar Anda dapat bebas menempelkannya di atas permukaan OD-11 atau di tempat lain selama masih terhubung dengan koneksi Bluetooth.

Jika berminat, OD-11 akan mulai tersedia sekitar kuartal kedua tahun 2013 dengan perkiraan harga $800 (sekitar Rp7,7 juta).

Sony Umumkan Xperia Tablet Z, Tablet Tertipis di Dunia

Setelah mengumumkan Xperia Z di CES 2013, Sony Mobile kembali memberi kejutan menyenangkan. Kali ini giliran produk tablet yang kebagian jatah produk baru di awal tahun 2013. Sony mengumumkan kehadiran tablet terbarunya, Xperia Tablet Z.

Xperia Tablet Z adalah tablet Android 4.1 dengan layar 10 inci Full HD (resolusi 1920x1200 pixel). Di atas kertas, kinerjanya seharusnya cukup handal dengan adanya prosesor quad-core 1,5GHz. Di bagian belakang, penggunanya akan disuguhi kamera 8 MP yang inovatif. Di mana inovasinya?

Sony Xperia Z

Menurut Sony, inilah kamera pertama dengan sensor CMOS BSI (Back-Side Illuminated) yang ada di tablet. Dengan bekal sensor ini, Sony sepertinya akan mempromosikan kemampuan fotografi Tablet Z, terutama untuk kondisi remang-remang.

Tapi yang paling mengagumkan, Xperia Tablet Z hadir dalam bodi setebal 6,9 mm. Ini menjadikannya sebagai tablet tertipis di dunia saat ini, lebih tipis dibandingkan iPad Mini (7,2 mm). Sony juga mengklaim bahwa tablet ini tahan air dan tahan debu, suatu hal yang jarang ditemukan di kebanyakan tablet yang ada saat ini.

Fitur menarik lainnya adalah S-Force Front Surround 3D yang memberikan efek suara surround virtual, serta dukungan LTE dan NFC. Mengingat Sony baru mengumumkan Xperia Tablet Z untuk pasar Jepang,  ada kemungkinan beberapa spesifikasi akan berubah untuk negara lain.

Sony Xperia Tablet Z juga tersedia dalam pilihan warna hitam dan putih. Belum ada harga, tapi sepertinya tablet ini akan dijual sekitar Rp5 jutaan.
sumber : http://id.berita.yahoo.com/blogs/jagat-pintar/sony-umumkan-xperia-tablet-z-tablet-tertipis-di-dunia-084850723.html

Gletser Andes Mencair Terlalu Cepat

Oleh Stephanie Pappas, Penulis Senior LiveScience | LiveScience.com

Gletser di Pegunungan Andes melemah pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam tiga puluh tahun terakhir.

Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan rincian penelitian terbaru yang menggabungkan penelitian di lapangan dengan foto satelit dan udara, catatan sejarah dan masa inti es yang diambil dari gletser. Kondisi tersebut lebih buruk di Andes dibandingkan rata-rata menyusutnya gletser di seluruh dunia, demikian laporan para peneliti pada 22 Januari dalam jurnal “The Cryosphere”.

Foto: LiveScience (Giulia Curatola, Philipps-Universität Marburg, distributed by the EGU)"Gletser di Tropical Andes telah menghilang rata-rata antara 30-50 persen (tergantung pada rentang pegunungan) dari permukaannya sejak akhir 70-an," menurut pengamatan peneliti Antoine Rabatel, ilmuwan dari Laboratory for Glaciology and Environmental Geophysics di Grenoble, Prancis, dalam sebuah email kepada LiveScience.

Gletser sensitif
Pegunungan Andes di Amerika Selatan adalah tempat 99 persen gletser tropis, yakni sungai es permanen di ketinggian yang cukup tinggi, yang tidak akan terpengaruh oleh jenis suhu sejuk yang biasanya ada di daerah tropis. Meski demikian, Rabatel mengatakan, gletser sangat sensitif terhadap perubahan iklim, karena ada sedikit musim daerah tropis.

"Gletser di Andes tropis bereaksi keras dan lebih cepat daripada gletser lain di Bumi untuk setiap perubahan kondisi iklim," katanya.

Untuk mengumpulkan cerita dari gletser selama berabad-abad lalu, Rabatel dan rekan-rekannya menggunakan data berbeda. Catatan sejarah dari permukim awal menunjukkan batas-batas gletser, seperti halnya data inti es yang diambil dengan cara pengeboran ke dalam lapisan es tahunan yang membentuk gletser.

Bahkan lumut (organsisme simbiosis yang berasal dari jamur dan ganggang atau bakteri) yang bertahan hidup pada bebatuan, atau moraine, yang terbentuk di sekitar gletser memiliki kisah yang menarik. Peneliti dapat menggunakan lumut tersebut untuk menentukan berapa lama batu tertutup dan terbebas dari es.

Foto udara pada 1950-an dan pencitraan satelit dari era 1970-an juga melacak gerakan gletser. Akhirnya, pengamatan berbasis darat dan langsung dilakukan pada banyak gletser sejak 1990-an.

Pelemahan Gletser
Semua data mengungkapkan kisah es yang mencair. Gletser Andes mencapai luas maksimal dalam zaman Little Ice Age, sebuah periode pendinginan yang berlangsung dari sekitar abad 16 hingga 19. Di daerah tropis luar Peru dan Bolivia, gletser mencapai titik maksimal mereka pada 1600-an, menurut temuan para peneliti. Gletser tertinggi Andean mencapai maksimal pada 1730-an atau sekitar itu, sedangkan gletser elevasi yang lebih rendah mencapai puncaknya sekitar 1830-an.

Sejak itu, gletser secara bertahap melemah, dengan periode mencair yang cepat pada 1800-an dan yang kedua, jauh lebih besar, di periode pencairan yang cepat dalam tiga dekade terakhir. Sejak 1970-an, gletser mengikuti pola periode pencairan yang lebih cepat dalam jarak dua sampai tiga tahun, di antara pelemahan  yang lebih lambat dan sesekali bertambah (atau tumbuh). Rata-rata keseluruhan adalah negatif secara permanen selama 50 tahun terakhir, tulis para peneliti.

Rata-rata es yang menghilang antara 30-50 persen bervariasi dari gletser ke gletser, tutur Rabatel. Beberapa gletser kecil benar-benar telah menghilang, seperti gletser Chacaltaya di Bolivia, yang dulunya resor ski tertinggi di dunia, namun menghilang pada 2009.

Gletser dengan ketinggian yang lebih rendah dari 5400 meter di atas permukaan laut mencair dua kali lebih cepat dari gletser yang lebih tinggi. Gletser-gletser rendah ini, yang membentuk mayoritas gletser Andes, diperkirakan akan punah dalam beberapa tahun atau dekade ke depan, tutur Rabatel.

Curah hujan di wilayah tersebut tidak berubah, menurut temuan para peneliti, namun suhu meningkat hampir 0,2 derajat Fahrenheit (0,1 derajat Celsius) per dekade selama 70 tahun terakhir. Hal itu berarti panas atmosfer membuat gletser melemah.

Hilangnya gletser yang terus meningkat adalah masalah utama bagi masyarakat yang tinggal di daerah barat Andes yang kering, tutur Rabatel.

"Pasokan air dari rangkaian pegunungan gletser yang tinggi penting untuk konsumsi pertanian dan domestik, serta untuk pembangkit listrik tenaga air," tulisnya.

Bisakah Ibu Pengganti Melahirkan Bayi Neanderthal?

Oleh Marc Lallanilla | LiveScience.com

Dalam sebuah wawancara kontroversial, seorang profesor genetika Harvard terpandang menyatakan “perempuan yang mempunyai jiwa petualang tinggi” suatu hari nanti bisa menjadi ibu pengganti (surrogate mother) untuk bayi kloning Neanderthal.

Selain mengatakan bahwa kloning bayi Neanderthal akan mungkin terwujud, George Church mengatakan kepada majalah Der Spiegel bahwa menggunakan sel induk untuk membuat Neanderthal bisa memiliki manfaat yang signifikan bagi masyarakat. “Hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mengurutkan genom Neanderthal, dan itu sebenarnya telah dilakukan,” ujar Church .

“Langkah berikutnya yaitu memotong genom menjadi, katakanlah, 10.000 potongan dan kemudian... mengumpulkan semua potongan tersebut dalam sel induk manusia, yang akan memungkinkan Anda untuk akhirnya membuat tiruan Neanderthal,” ujar Church kepada Der Spiegel.

Para ilmuwan menyelesaikan urutan pertama dari genom Neanderthal pada 2010, menemukan bukti genetik yang menunjukkan nenek moyang manusia modern itu berhasil melakukan perkawinan silang dengan Neanderthal, setidaknya kadang-kadang hal itu terjadi. Penelitian terbaru menunjukkan DNA Neanderthal merupakan penyusun 1 sampai 4 persen dari genom manusia Eurasia modern.

Manfaatnya, menurut Church , termasuk peningkatan keragaman genetik. “Satu hal yang buruk bagi masyarakat adalah keragaman yang rendah,” ujar Church. “Jika Anda menjadi monokultur, Anda memiliki risiko kepunahan yang besar. Oleh karena itu penciptaan ulang dari Neanderthal akan menjadi upaya utama menghindari risiko sosial tersebut.”

Dalam bukunya “Regenesis: How Synthetic Biology Will Reinvent Nature and Ourselves” (Basic Books, 2012), Church menulis, “Jika masyarakat menjadi nyaman dengan kloning dan melihat nilai dalam keragaman manusia yang sejati, maka seluruh makhluk Neanderthal bisa dikloning oleh simpanse sebagai ibu pengganti — atau oleh perempuan yang berjiwa petualang tinggi.”

Church mengatakan dalam wawancara lain bahwa ia tidak menganjurkan untuk kelahiran bayi dari ibu pengganti manusia Neanderthal dalam waktu dekat, tetapi orang harus mulai membahas ide tersebut hari ini sehingga kita sudah siap untuk masa depan. Meski begitu, para ilmuwan lain mengatakan gagasannya bukan hanya bermasalah dalam hal etika, tetapi secara ilmiah tidak mungkin dilakukan di masa mendatang.

Etika kloning manusia
Tidak semua orang setuju dengan minat Church dalam kloning Neanderthal, mengingat isu-isu etis yang terlibat di dalamnya.

“Saya menganggap tidak adil untuk menempatkan orang-orang... ke dalam situasi yang membuat mereka merasa dihina dan takut,” ujar ahli etika biologi Bernard E. Rollin dari Colorado State University di Fort Collins kepada koran The Independent.

Ada juga kemungkinan bayi Neanderthal akan kekurangan kekebalan terhadap penyakit menular kontemporer, dan oleh karena itu tidak akan mungkin bertahan hidup, menurut laporan Independent. Neanderthal, kerabat genetik terdekat manusia yang diketahui, meninggal sekitar 30.000 tahun yang lalu. Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa Neanderthal dan manusia yang punah lainnya seperti Denisovan mungkin telah dikaruniai beberapa manusia dengan sistem kekebalan tubuh yang kuat.

“Dengan mengesampingkan isu-isu etis di balik penciptaan satu-satunya spesies yang tersisa dari manusia yang telah punah, ditakdirkan untuk menjadi orang aneh di bawah mikroskop selebritas... Saya harus mempertanyakan pendapat Dr Church, benarkah akan semudah itu untuk mengkloning Neanderthal,” ujar Alex Knapp dalam Forbes.

“Mamalia lain telah dikloning. Tapi dengan sejumlah masalah. Hasil kloning sering mengalami sejumlah masalah kesehatan,” ujar Knapp. “Misalnya, domba kloning pertama, Dolly, adalah salah satu dari 29 embrio kloning. Dia satu-satunya yang bertahan hidup.”

Setiap ibu pengganti yang dipilih untuk melahirkan klon Neanderthal juga mungkin akan menderita, ujar Knapp. “Kenyataannya adalah bahwa keberhasilan akan membutuhkan puluhan wanita — banyak di antaranya hampir pasti mengalami trauma keguguran dan bayi yang meninggal dalam kandungan yang tampaknya tak terelakkan dalam hal kloning.”

Apakah komentar Church disalahartikan?

Pernyataan Church dalam wawancara dengan Der Spiegel banyak dipelintir, menurut beberapa pengamat. “Selalu ada bahaya ketika orang mengutip satu komentar kecil dan melebih-lebihkannya,” ujar John Hawks, profesor antropologi biologi di University of Wisconsin-Madison, pada LiveScience.

“Dia benar-benar berbicara tentang fiksi ilmiah,” ujar Hawks mengenai komentar Church, dan menambahkan bahwa dengan teknologi saat ini, kloning dari spesies yang telah lama punah adalah “benar-benar mustahil.”

“Kami masih sangat jauh untuk bisa mengambil informasi DNA dan membuat sebuah sel hidup dari itu,” ujar Hawks. Dan meski kloning dan melahirkan kembali hewan punah dan manusia terdengar menarik, itu bukan prioritas ilmiah. “Itu hanya untuk menangkap imajinasi publik, tapi tidak ada yang berencana demikian,” ujar Hawks.

“Kita bisa melakukan banyak hal daripada kloning dan menghidupkan kembali spesies yang sudah punah,” ujar Hawks. “Jika kita bisa mengkloning Neanderthal, kita bisa mengatasi seluruh kelainan genetik yang dimiliki manusia,” ujar Hawks, mengacu pada teknologi dan kemajuan yang diperlukan untuk mencapai kedua hal tersebut.

Church sendiri telah menjauhkan diri dari hiruk-pikuk media tentang komentar Neanderthalnya. “Kisah nyata di sini adalah bagaimana cerita-cerita ini telah menyebar dan berubah dengan cara yang berbeda,” ujar Church pada Boston Herald. “Saya yakin kita pada akhirnya akan menyelesaikan masalah tersebut.”

“Saya tentu tidak menganjurkan hal itu,” ujar Church. “Saya mengatakan, jika secara teknis sudah memungkinkan suatu hari nanti, kita harus mulai membicarakan tentang hal itu hari ini.”

Matrix Penutup

Terima Kasih Atas Kunjungannya..!!

Pesan Animasi